Jaman Kerajaan
Pada zaman majapahit, Patih Gadjah Mada membentuk pasukan pengamanan yang disebut Bhayangkara, mereka bertugas melindungi raja dan kerajaan.
Masa Kolonial Belanda
Pada masa kolonial Belanda, pembentukan pasukan keamanan diawali dengan mengambil orang-orang pribumi untuk menjaga aset dan kekayaan orang-orang Eropa di Hindia Belanda. Pada tahun 1867 sejumlah warga Eropa di Semarang, merekrut 78 orang pribumi untuk menjaga keamanan mereka.
Kepolisian modern Hindia Belanda yang dibentuk antara tahun 1897-1920 merupakan cikal bakal dari terbentuknya Kepolisian Negara Republik Indonesia saat ini.
Masa Pendudukan Jepang
Pada masa ini jepang membagi wilayah kepolisian Indonesia menjadi Kepolisian Jawa dan Madura yang berpusat di Jakarta, Kepolisian Sumatera yang berpusat di Bukittinggi, Kepolisian wilayah Indonesia Timur berpusat di Makassar, dan Kepolisian Kalimantan yang berpusat di Banjarmasin.
Tiap-tiap kantor polisi di daerah meskipun dikepalai oleh seorang pejabat kepolisian bangsa Indonesia, tapi selalu didampingi oleh pejabat Jepang yang disebur sidookaan yang dalam praktik lebih berkuasa dari kepala polisi
Awal Kemerdekaan Indonesia
Periode 1945-1950
Setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, polisi tetap bertugas. Termasuk ketika Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Secara resmi kepolisian menjadi kepolisian Indonesia yang merdeka.
Inspektur Kelas I (Letnan Satu0 Polisi Mochamad Jassin, Komandan Polisi di Surabaya, pada tanggal 21 Agustus 1945 memproklamasikan Pasukan Polisi Republik Indonesia sebagai Langkah awal yang dilakukan selain mengadakan pembersihan dan pelucutan senjata terhadap tantara Jepang yang kalah perang, juga membangkitkan semangat moral dan patriotic seluruh rakyat maupun satuan-satuan bersenjata yang sedang dilanda depresi dan kekalahan perang yang Panjang. Sebelumnya, tanggal 19 Agustus 1945 dibentuk Badan Kepolisian Negara (BKN) oleh PPKI. Pada tanggal 29 September 1945, Soekarno melantik R.S. Soekanto Tjokrodiatmodjo menjadi Kepala Kepolisian Negara (KKN).
Awalnya, kepolisian berada dalam lingkungan Kementrian Dalam Negeri dengan nama Djawatan Kepolisian Negara yang hanya bertanggung jawab masalah administrasi, sedangkan masalah operasional bertanggung jawab kepada Jaksa Agung.
Kemudian mulai tanggal 1 Juli 1946 dengan Penetapan Pemerintah Tahun 1946 No. 11/S.D. Djawatan Kepolisian Negara bertanggung jawab langsung kepada Perdana Menteri. Tanggal 1 Juli inilah yang setiap tahun diperingati sebagai Hari Bhayangkara hingga saat ini.
Pada masa kabinet presidensial, tanggal 4 Februari 1948 dikeluarkan Tap Pemerintah No. 1/1948 yang menetapkan bahwa Polri dipimpin langsung oleh Presiden/Wakil Presiden dalam kedudukan sebagai perdana Menteri/wakil perdana Menteri.
Pada masa revolusi fisik, Kapolri Jenderal Polisi R.S. Soekanto telah mulai menata organisasi kepolisian di seluruh wilayah RI. Pada Pemerintahan Darurat RNI (PDRI) yang diketuai Mr. Sjafrudin Prawiranegara berkedudukan di Sumatera Tengah, Jawatan Kepolisian dipimpin KBP Umar Said (tanggal 22 Desember 1948).
Hasil Konferensi Meja Bundar antara Indonesia dan Belanda dibentuk Republik Indonesia Serikat (RIS), maka R.S. Soekanto diangkat sebagai Kepala Jawatan Kepolisian Negara RIS dan R. Soemanto diangkat sebagai Kepala Kepolisian Negara RI berkedudukan di Yogyakarta.
Dengan Keppres RIS No. 22 tahun 1950 dinyatakan bahwa Jawatan Kepolisian RIS dalam kebijaksanaan politik polisional berada di bawah perdana Menteri dengan perantaraan jaksa agung, sedangkan dalam hal administrasi pembinaan, didpertanggungjawabkan pada Menteri dalam negeri.
Umur RIS hanya beberapa bulan. Sebelum dibentuk Negara Kesatuan RI pada tanggal 17 Agustus 1950, pada tanggal 7 Juni 1950 dengan Tap Presiden RIS No. 150, organisasi-organisasi kepolisian negara-negara bagian disatukan dalam Jawatan Keplisian Indonesia. Dalam peleburan tersebut disadari adanya kepolisian negara yang dipimpin secara sentral, baik di bidang kebijaksanaan siasat kepolisian maupun administratif, organisatoris.
Periode 1950-1959
Pembentukan negara kesatuan pada tanggal 17 Agustus 1950 dan diberlakukannya UUDS 1950, menganut sistem parlementer, Kepala Kepolisian Negara tetap dijabat oleh R.S. Soekanto yang bertanggung jawab kepada perdana Menteri/presiden.
Kedudukan Polri Kembali ke Jakarta, namun karena belum ada kantor maka digunakan bekas kantor Hoofd van de Dienst der Algemene Politie di Gedung Departemen Dalam Negeri, Kemudian R.S. Soekanto merencanakan kantor sendiri di Jalan Trunojoyo 3, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dengan sebutan Markas Besar Djawatan Kepolisian Negara RI (DKN) yang menjadi Markas Besar Kepolisian sampai sekarang. Gedung tersebut menjadi Gedung perkantoran termegah setelah Istana Negara pada masa itu.
Masa Orde Lama
Dengan adanya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Indonesia Kembali pada UUD 1945, Jabatan Perdana Menteri (Alm. Ir. Juanda) diganti dengan sebutan Menteri Pertama Polri dan masih berada di bawah Menteri Pertama sampai keluarnya keppres No. 153/1959, tertanggal 10 Juli di mana Kepala Kepolisian Negara diberi kedudukan Menteri Negara ex-officio.
Tanggal 13 Juli 1959 dengan keppres No. 154/1959, Kapolri juga menjabat sebagai Menteri Muda Kepolisian dan Menteri Muda Veteran. Tanggal 26 Agustus 1959, dengan Surat Edaran Menteri Pertama No. 1/MP/RI1959, ditetapkan sebutan Kepala Kepolisian Negara diubah menjadi Menteri Muda Kepolisian yang memimpin Departemen Kepolisian (sebagai ganti dari Djawatan Kepolisian Negara).
Waktu Presiden Soekarno menyatakan akan membentuk ABRI yang terdiri dari Angkatan Perang dan Angkatan Kepolisian, R.S. Soekanto menyampaikan keberatannya dengan alasan untuk menjaga profesionalisme kepolisian. Pada tanggal 15 Desember 1959 R.S. Soekanto mengundurkan diri setelah menjabat Kapolri/Menteri Muda Kepolisian, sehingga berakhirlah karier Bapak Kepolisian RI tersebut sejak 29 September 1945 hingga 15 Desember 1959.
Tap MPRS No. II dan III tahun 1960 menyatakan bahwa ABRI terdiri atas Angkatan Perang dan Polisi Negara. Berdasarkan Keppres No. 21/1960 sebutan Menteri Muda Kepolisian ditiadakan dan selanjutnya disebut Menteri Kepolisian Negara Bersama Angkatan perang lainnya dan dimasukkan dalam bidang keamanan nasional.
Tanggal 19 Juni 1961, DPR-GR mengesahkan UU Pokok kepolisian No. 13/1961. Dalam UU ini dinyatakan bahwa kedudukan Polri sebagai salah satu unsur ABRI yang sama sederajat dengan TNI AD, AL dan AU.
Dengan Keppres No. 94/1962, Menteri Kapolri, Menteri/KASAD, Menteri/KASAL, Menteri/KSAU, Menteri/Jaksa Agung, Menteri Urusan Veteran dikoordinasikan oleh wakil Menteri Pertama bidang pertahanan keamanan. Dengan Keppres No. 134/1962 menteri diganti menjadi Menteri/Kepala Staf Angkatan Kepolisian (Menkasak).
Kemudian sebutan Menkasak diganti lagi menjadi Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian (Menpangak) dan langsung bertanggung jawab kepada presiden sebagai kepala pemerintahan negara. Dengan Keppres No. 290/1964 kedudukan, tugas, dan tanggung jawab Polri ditentukan sebagai berikut.
- Alat negara penegak hukum.
- Koordinator Polsus.
- Ikut serta dalam pertahanan.
- Pembinaan Kamtibmas.
- Kekaryaan.
- Sebagai alat revolusi.
Berdasarkan Keppres No. 155/1965 tanggal 6 Juli 1965, pendidikan AKABRI disamakan bagi Angkatan Perang dan Polri selama satu tahun di Magelang. Sementara pada tahun 1964 dan 1965, pengaruh PKI bertambah besar karena politik NASAKOM Presiden Soekarno, dan PKI mulai menyusup dan mempengaruhi sebagian anggota ABRI dari keempat angkatan.
Masa Orde Baru
Pengalaman pahit G30S/PKI memberikan pelajaran bahwa harus ada integrasi antar unsur-unsur ABRI, maka untuk meningkatkan integrasi ABRI, maka untuk meningkatkan integrasi ABRI tahun 1967 dengan SK Presiden No. 132/1967 tanggal 24 Agustus 1967 ditetapkan Pokok-pokok Organisasi dan Prosedur Bidang Pertahanan dan Keamanan yanbg menyatakan ABRI merupakan bagian dari organisasi Departemen Hankam meliputi AD, AL, AU, dan AK yang masing-masing dipimpin oleh Panglima Angkatan dan beranggung jawab atas pelaksanaan tugas dan kewajibannya kepada Menhankam/Pangab. Jenderal Soeharto sebagai Menhankam/Pangab yang pertama.
Setelah Soeharto dipilih sebagai presiden tahun 1968, Jabatan Menhankam/Pangab berpindah kepada Jenderal M. Pangabean. Ternyata ketatnya integrasi ini menyulitkan perkembangan Polri yang secara universal memang bukan angkatan perang.
Tahun 1969 dengan Keppres No. 52/1969 sebutan Panglima Angkatan Kepolisian diganti Kembali sesuai UU No. 13/1961 menjadi Kepala Kepolisian Negara RI, namun singkatannya tidak lagi KKN tetapi Kapolri. Pergantian sebutan ini diresmikan tanggal 1 Juli 1969.
Masa Reformasi
Pada masa reformasi terjadi banyak perubahan, ditandai dengan jatuhgnya pemerintah Orde Baru yang kemudian digantikan oleh pemerintahan reformasi di bawah pimpinan presiden B.J Habibie di tengah maraknya berbagai tuntutan masyarakat dalam penuntasan reformasi. Kemudian muncul tuntutan agar Polri dipisahkan dari ABRI dengan harapan Polri menjadi Lembaga profesional dan mandiri, jauh dari intervensi pihak lain dalam penegakan hukum.
Presiden B.J Habibie melalui intruksi Presiden No. 2 tahun 1999 menyatakan bahwa Polri dipisahkan dari ABRI. Upacara pemisahan Polri dari ABRI dilakukan pada tanggal 1 April 1999 di lapangan upacara Mabes ABRI di Cilangkap, Jakarta Timur. Upacara pemisahan tersebut ditandai dengan penyerahan Panji Tribata Polri dari Kepala Staf Umum ABRI Letjen TNI Sugiono kepada Sekjen Dephankam Letjen TNI Fachrul Razi kemudian diberikan kepada Kapolri Jenderal Pol (Purn.) Roesmanhadi.
Maka sejak tanggal 1 April, Polri ditempatkan di bawah Dephankam. Setahun kemudian, keluarlah TAP MPR No. VI/2000 serta Ketetapan MPR NO. VII/MPR/2000 tentang peran TNI dan peran Polri, kemandirian Polri berada di bawah Presiden secara langsung dan segera melakukan reformasi birokrasi menuju Polisi yang mandiri, bermanfaat, dan professional.
Pemisahan ini dikuatkan melalui amandemen Undang-Undang Dasar 1945 ke-2 di mana Polri bertanggung jawab dalam keamanan dan ketertiban, sedangkan TNI bertanggung jawab dalam bidang pertahanan. Tanggal 8 Januari 2002, diundangkanlah UU No. 2 tahun 2002 mengenai Kepolisian Republik Indonesia oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Isi dari undang-undang tersebut selain pemisahan Polri, yaitu:
- Kapolri bertanggung jawab langsung pada Presiden dibanding sebelumnya di bawah Panglima ABRI.
- Pengangkatan Kapolri harus disetujui Dewan Perwakilan Rakyat.
- Polri dilarang terlibat dalam politik praktis serta dihilangkan hak pilih dan dipilih, harus tunduk dalam peradilan umum dari sebelumnya melalui peradilan militer.